Latar Belakang dan Masa Kecil
UNESCO – Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Lampadang, Aceh Besar. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang taat beragama dan terpandang di masyarakat. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan ajaran agama Islam serta pendidikan adat Aceh yang keras. Lingkungan keluarga yang patriotik membuat dirinya tumbuh sebagai pribadi yang berani dan tegas.
Di masa kecilnya, Cut Nyak Dhien sudah menunjukkan kecerdasan dan kepemimpinan. Ia sering diajak ayahnya ke pertemuan adat sehingga terbiasa mendengar cerita tentang perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah. Pendidikan agama yang kuat juga membuatnya dikenal religius dan teguh dalam keyakinan.

Pernikahan Pertama dan Awal Perlawanan
Pada usia muda, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, seorang pejuang Aceh. Kehidupan rumah tangganya berjalan harmonis hingga pecahnya Perang Aceh pada 1873. Suaminya ikut bertempur melawan Belanda dan gugur dalam pertempuran pada 1878.
Kematian suaminya membuat Cut Nyak Dhien marah sekaligus bertekad melanjutkan perjuangan. Ia berjanji tidak akan berhenti sebelum Belanda diusir dari tanah Aceh. Dari sinilah peran Cut Nyak Dhien sebagai pemimpin rakyat dimulai.
Perjuangan di Medan Perang
Bergabung dalam Perang Aceh
Setelah kepergian suami pertamanya, Cut Nyak Dhien turun langsung ke medan pertempuran. Ia mengorganisasi pasukan rakyat, memberi semangat juang, serta ikut mengatur strategi. Sosoknya yang tegas membuat para prajurit segan sekaligus hormat.
Pernikahan dengan Teuku Umar
Tahun 1880-an, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, salah satu tokoh penting dalam Perang Aceh. Keduanya menjadi pasangan pejuang yang ditakuti Belanda. Teuku Umar dikenal sebagai panglima perang yang berani, sementara Cut Nyak Dhien mendukungnya dengan mengatur logistik, memberikan motivasi, dan ikut memimpin pasukan.
Teuku Umar sendiri pernah menggunakan taktik licik dengan berpura-pura bekerja sama dengan Belanda untuk memperoleh senjata, lalu kembali bergabung dengan rakyat Aceh. Strategi ini membuat Belanda semakin kewalahan.
Setelah Teuku Umar Gugur
Pada tahun 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran. Kabar ini membuat Cut Nyak Dhien berduka, tetapi ia tidak menyerah. Justru ia semakin bersemangat untuk melanjutkan perlawanan. Ia mengambil alih komando pasukan dan memimpin gerilya di pedalaman Aceh.
Taktik Perang Gerilya
Dalam memimpin perlawanan, Cut Nyak Dhien menggunakan taktik gerilya. Pasukannya bergerak di hutan-hutan Aceh, menyerang secara tiba-tiba, lalu menghilang sebelum Belanda bisa melakukan perlawanan balik.
Taktik ini efektif melemahkan Belanda, meski persenjataan rakyat Aceh jauh lebih sederhana. Perlawanan Cut Nyak Dhien juga didukung oleh rakyat yang menyediakan makanan, tempat berlindung, dan informasi. Inilah yang membuat Belanda sangat kesulitan menaklukkan Aceh.
Sosok Pemimpin yang Religius dan Dihormati
Selain dikenal sebagai pejuang tangguh, Cut Nyak Dhien juga religius. Ia sering mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk memberi semangat kepada pasukan. Ia percaya bahwa perang melawan penjajah adalah bentuk jihad fi sabilillah, yaitu berjuang di jalan Allah.
Wibawanya sangat kuat. Pasukan maupun rakyat menaruh hormat kepadanya. Sosoknya digambarkan tegas, sabar, dan pantang menyerah. Bahkan di saat kondisi fisik melemah, semangatnya tidak pernah padam.

Penangkapan dan Pembuangan
Memasuki tahun 1901, kondisi kesehatan Cut Nyak Dhien semakin memburuk. Ia menderita rabun dan encok. Meski demikian, ia tetap memimpin pasukan hingga markasnya akhirnya diketahui Belanda di pedalaman Aceh.
Ia ditangkap bersama pasukan yang tersisa dan kemudian dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan, meski jauh dari tanah kelahiran, ia tetap dihormati masyarakat setempat karena keteguhannya. Cut Nyak Dhien wafat pada 6 November 1908 di Sumedang.
Nilai-Nilai Perjuangan Cut Nyak Dhien
1. Keberanian Perempuan
Cut Nyak Dhien membuktikan bahwa perempuan juga mampu memimpin perang. Ia menjadi simbol emansipasi perempuan Indonesia jauh sebelum istilah itu populer.
2. Semangat Pantang Menyerah
Kehilangan suami tidak membuatnya berhenti. Ia justru menjadikannya sebagai bahan bakar perjuangan.
3. Religiusitas
Keimanan Islam menjadi fondasi utama semangat juangnya. Ia yakin perjuangan melawan penjajah adalah bagian dari ibadah.
4. Kepemimpinan yang Tegas
Ia bisa menggerakkan pasukan dan rakyat untuk terus berjuang, meski kondisi sulit.
Warisan dan Penghormatan

- Pada 2 Mei 1964, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional.
- Namanya diabadikan sebagai nama jalan, sekolah, hingga museum di Aceh dan berbagai kota lain.
- Kisahnya diangkat dalam buku, film, dan seni pertunjukan sebagai inspirasi generasi muda.
- Makamnya di Sumedang menjadi tempat ziarah sejarah yang ramai dikunjungi.
Kisah Inspiratif bagi Generasi Muda
Kisah ini bukan hanya cerita masa lalu, tetapi juga inspirasi masa kini. Ia menunjukkan bahwa perjuangan bukan soal gender, melainkan soal keberanian dan tekad.
Generasi muda bisa belajar darinya tentang arti pantang menyerah, kepemimpinan, dan cinta tanah air. Semangatnya bisa menjadi motivasi untuk menghadapi tantangan zaman modern, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga menjaga persatuan bangsa.
Srikandi Abadi dari Aceh
Cut Nyak Dhien adalah pahlawan nasional yang jasanya tidak akan pernah dilupakan. Sebagai seorang perempuan, ia berani memimpin perang melawan penjajah, mengorbankan keluarga, bahkan nyawanya demi kemerdekaan bangsa.
Warisan nilai perjuangan Cut Nyak Dhien adalah keberanian, religiusitas, dan tekad pantang menyerah. Hingga kini, namanya selalu disebut sebagai simbol perempuan tangguh Indonesia yang tidak tunduk pada penindasan.