Pertama Kali Mengenakan Kimono di Jepang
UNESCO – Sebagai seorang travel vlogger, saya selalu mencari pengalaman otentik ketika berkunjung ke sebuah negara. Saat menjejakkan kaki di Kyoto, Jepang, saya akhirnya mencoba Budaya Kimono , busana tradisional yang menjadi ikon budaya Negeri Sakura.
Saya masih ingat jelas momen itu. Seorang perias membantu saya mengenakan Budaya Kimono dengan penuh ketelitian. Mulai dari lapisan kain, obi (ikat pinggang lebar), hingga sandal geta. Rasanya hangat, agak berat, tapi begitu saya bercermin, saya terpesona. Ada aura berbeda anggun, formal, dan penuh wibawa.
Ketika saya berjalan di jalanan Gion yang penuh rumah kayu tradisional, banyak wisatawan yang tersenyum dan beberapa bahkan meminta foto bersama. Saat itu saya benar-benar merasakan bagaimana budaya kimono bukan sekadar pakaian, melainkan simbol identitas Jepang.

Sejarah Panjang Kimono
Budaya Kimono memiliki sejarah panjang yang bisa ditelusuri sejak lebih dari seribu tahun lalu. Kata “kimono” berasal dari bahasa Jepang yang berarti “sesuatu yang dikenakan”.
Asal-Usul Kimono
- Pada awalnya, kimono terinspirasi dari busana tradisional Tiongkok pada masa Dinasti Han.
- Kimono berkembang pesat di era Heian (794–1185), saat bangsawan Jepang menggunakan kain sutra berlapis dengan warna yang kaya.
- Pada periode Edo (1603–1868), Budaya Kimono menjadi pakaian sehari-hari masyarakat, dengan corak dan motif berbeda untuk setiap kelas sosial.
Kini, Budaya Kimono jarang dipakai sehari-hari. Namun, ia tetap digunakan pada acara-acara penting, seperti pernikahan, upacara minum teh, hingga festival tradisional.
Filosofi di Balik Kimono
Kimono bukan sekadar pakaian. Setiap detailnya memiliki filosofi mendalam yang mencerminkan budaya Jepang.
Makna Filosofis
- Lapisan kain → melambangkan kesabaran dan harmoni.
- Motif bunga → biasanya disesuaikan dengan musim. Misalnya, bunga sakura untuk musim semi, bunga krisan untuk musim gugur.
- Warna → melambangkan status dan emosi. Warna cerah dipakai anak muda, sementara warna gelap lebih cocok untuk orang tua.
- Cara memakai → kimono harus selalu dililit dari kiri ke kanan, kecuali untuk jenazah (kanan ke kiri).
Saya terkesan bagaimana orang Jepang begitu menghormati detail ini. Bagi mereka, mengenakan Budaya Kimono adalah bentuk penghormatan terhadap tradisi dan leluhur.
Jenis-Jenis Kimono
Ada banyak jenis Budaya Kimono yang digunakan sesuai acara dan status sosial pemakainya.
Ragam Kimono
- Furisode – kimono berlengan panjang yang dipakai wanita muda, biasanya untuk acara formal seperti upacara kedewasaan.
- Tomesode – kimono formal dengan lengan pendek, dipakai wanita menikah dalam acara pernikahan.
- Yukata – versi sederhana dari kimono, terbuat dari katun, biasanya dipakai di musim panas atau festival.
- Hōmongi – kimono semi-formal, sering dipakai untuk menghadiri pesta atau upacara minum teh.
- Montsuki – kimono pria formal berwarna gelap dengan lambang keluarga.
Saya sempat mencoba yukata di musim panas saat menghadiri festival kembang api di Osaka. Rasanya lebih ringan dibanding kimono formal, dan sangat cocok dengan suasana santai.
Kimono dan Upacara Tradisional Jepang
Budaya Kimono memiliki keterkaitan erat dengan berbagai upacara tradisional Jepang.
Contoh Acara
- Seijin Shiki (Upacara Kedewasaan) → wanita muda mengenakan furisode untuk menandai usia 20 tahun.
- Shichi-Go-San (Festival Anak) → anak perempuan memakai kimono warna-warni, anak laki-laki mengenakan hakama.
- Pernikahan Tradisional → pengantin wanita memakai kimono putih (shiromuku), sementara pria memakai montsuki hitam.
- Upacara Minum Teh → kimono sederhana seperti hōmongi digunakan agar tidak mengalihkan perhatian dari prosesi.
Saya sempat menghadiri upacara minum teh di Kyoto. Suasana hening, penuh ketenangan, dan kimono yang dipakai membuat momen itu terasa lebih sakral.

Kimono di Era Modern
Meski Budaya Kimono bukan lagi pakaian sehari-hari, keberadaannya tetap terjaga di tengah masyarakat Jepang modern.
Bentuk Adaptasi Modern
- Rental Kimono untuk Wisatawan → di Kyoto, Tokyo, dan Nara banyak toko yang menyewakan kimono untuk turis.
- Fashion Show dan Pop Culture → banyak desainer modern mengadaptasi motif kimono ke dalam busana kontemporer.
- Diplomasi Budaya → kimono sering ditampilkan dalam pameran budaya Jepang di seluruh dunia.
Saya melihat langsung bagaimana generasi muda Jepang tetap bangga mengenakan kimono pada acara tertentu. Bahkan, banyak influencer Jepang di media sosial yang mempopulerkan kimono dengan gaya kekinian.
Tantangan Melestarikan Kimono
Meskipun mendunia, Budaya Kimono menghadapi tantangan besar.
Kendala yang Dihadapi
- Harga Mahal – kimono sutra asli bisa mencapai jutaan yen.
- Proses Memakai Rumit – butuh bantuan perias atau penjahit profesional.
- Budaya Modern – generasi muda lebih memilih pakaian praktis seperti jeans dan t-shirt.
Namun, pemerintah Jepang dan komunitas budaya terus mendorong pelestarian kimono. Mereka mengadakan festival, workshop, hingga kelas membuat kimono agar tradisi ini tidak hilang ditelan zaman.
Pengalaman Pribadi Mengenakan Kimono
Bagi saya pribadi, mengenakan Budaya Kimono adalah pengalaman yang berkesan. Awalnya saya merasa kikuk karena cara berjalan harus hati-hati, langkah kecil, dan posisi duduk pun berbeda. Namun, lama-lama saya merasa elegan dan lebih menghargai filosofi di baliknya.
Saat berjalan di jalanan Kyoto dengan kimono, saya merasakan tatapan kagum dari wisatawan lain. Ada kebanggaan tersendiri bisa menjadi bagian kecil dari tradisi yang telah hidup berabad-abad.

Kimono, Identitas Budaya Jepang
Budaya kimono asal Jepang adalah simbol keindahan, filosofi, dan identitas bangsa. Dari pakaian sehari-hari di masa lalu, kini kimono menjadi ikon budaya yang mendunia.
Sebagai seorang travel vlogger, saya menuliskan satu catatan penting dalam jurnal perjalanan saya:
“Jika ingin merasakan jiwa Jepang yang sesungguhnya, jangan hanya berkunjung ke Tokyo Tower atau melihat bunga sakura. Cobalah mengenakan Budaya Kimono di Kyoto atau Nara. Saat itu, kamu akan memahami bagaimana tradisi bisa hidup dalam setiap helai kain yang membalut tubuhmu.”